Psikolog anak, Kurniasih Dwi Purwanti memberikan pendapat tentang ibu yang membuang alat rajut putranya. Sang ibu berpandangan, merajut adalah permainan anak perempuan. Ibu tersebut lebih senang putranya bermain bolaatau layangan seperti anak laki laki pada umumnya.

Menurut Uni, sapaannya, tindakan yang dilakukan oleh ibu tersebut kurang tepat. Pasalnya, belum tentu seorang anak menjadi tidak 'lelaki' hanya karena senang merajut. "Normal tidaknya seorang anak menurut saya terlalu terburu buru mendiagnosa hanya dari jenis permainannya saja."

Melihat reaksi anak yang menjadi sedih, Uni menduga perlakuan sang ibu tidak hanya dilakukan sekali. Menurut psikolog RSUD dr R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga ini, bila hal tersebut sering dilakukan sang ibu, maka bisa menimbulkan trauma. "Paling tidak jika hal tersebut sering dilakukan oleh sang ibu, anak akan belajar dari hal hal tersebut."

"Jika dia tidak mendapatkan penjelasan dengan baik, tepat dan benar, anak bisa jadi trauma." "Paling minim adalah trauma kekerasan verbal oleh ibunya," ungkap Uni yang juga berpraktik di RS Ananda Purwokerto. Uni juga menuturkan, bakat dan minat anak sejak dini sebenernya sudah bisa dilihat oleh orang tua.

"Walaupun menurut saya semua kebiasaan, bakat dan minat anak sejak dini perlu dikenalkan dari berbagai macam jenis dan kegiatannya." "Apakah nanti akan konsisten sampai dewasa, perlu juga dukungan dan stimulasi yang baik sehingga terus menetap," ujar Uni. Lebih lanjut, Uni membeberkan cara menegur anak yang baik.

Menurutnya, ada empat hal yang perlu diperhatikan ketika ingin menegur seorang anak. Pertama, harus melihat situasi dan kondisi penegur terlebih dahulu. Apakah dalam kondisi emosi yang positif atau tidak, karena hal tersebut akan berpengaruh.

"Juga lihat situasi sekitar, usahakan tidak banyak orang saat menegur," ungkapnya. Kedua, Uni menuturkan, bila ingin menegur tetapi sedang banyak orang, usahakan menggunakan bahasa yang baik, tepat, dan mengena sasaran. "Jadi ditanyakan kenapa bermain benang? Bukan langsung bilang bermain benang itu cewek dan kamu nanti jadi kecewek cewekan. Itu tidak tepat sasaran," jelas Uni.

Ketiga, menanyakan terlebih dahulu apa alasan sang anak bermain rajutan. Pasalnya, menurut Uni, alasan tersebut bisa saja yang mendasari perilaku seorang anak. Yang keempat, berikan pemahaman tentang perbedaan jenis kelamin laki laki dan perempuan.

"Bila perlu berikan pemahaman tentang perbedaan jenis kelamin laki laki dan perempuan tidak hanya dari mainan saja," tegas Uni. Sebelumnya, cerita seorang ibu yang memarahi putranya karena bermain benang dan pita untuk merajut menjadi viral di Twitter. Cerita tersebut dibagikan oleh Tria Novanda Putri dalam akun Twitter nya pada Senin (29/6/2020) lalu.

Hingga Rabu (1/7/2020), cerita miliknya telah di retweet sebanyak 30 ribu kali dan mendapat 85 ribu like oleh warganet di jagat maya. Saat dikonfirmasi, Ova, sapaan akrabnya, mengatakan peristiwa tersebut terjadi pada Sabtu, 27 Juni lalu. Kala itu, keponakannya yang bernama Tama, menangis lantaran alat rajut miliknya dibuang sang ibu.

Setelah cuitannya menjadi viral, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) ini lantas memberi tahu Ibunda Tama. Awalnya, ibunda Tama tetap bersikeras melarang anaknya bermain benang, pita, dan manik manik. Tetapi setelah dibujuk oleh Ova, ibunda bocah berusia 11 tahun itu sudah lebih bisa menerima 'bakat' anaknya.

Namun, kemarahan sang ibu sempat membuat Tama menjadi sedih dan memilih untuk tinggal bersama neneknya. "Kondisi sang anak (setelah alat rajut dibuang, red) menangis tidak berhenti selama kurang lebih 1 jam." "Besoknya dia sedih dan langsung ke tempat Mbah," papar perempuan asal Purbalingga ini.

Lebih lanjut, setelah banyak warganet yang mengetahui cerita Tama, Ova berharap ketika mereka menjadi orang tua, akan lebih peka terhadap anaknya sendiri.